Minggu, 24 Juni 2012

Pemikiran Bung Karno dan Relevansinya di Era Reformasi


Pemikiran Bung Karno dan Relevansinya di Era Reformasi
Oleh:
Drs. Jamalludin Sitepu, M.A.


            Pendahuluan
Tulisan ini ditulis atas permintaan beberapa orang mahasiswa STKIP Budi Daya Binjai yang prihatin terhadap kondisi pergerakan intelektual dan sosial mahasiswa di Binjai khususnya beberapa hari yang lalu.. Mahasiswa di Binjai dirasakan kurang memiliki rasa tanggungjawab pada lingkungan sosial, budaya, dan politik mereka. Pergi kulian, duduk manis, pacaran, dan menempah (membeli skripsi bila perlu). Berdasarkan situasi ini para aktivis mahasiswa STKIP Budi Daya ini mengadakan diskusi tentang Pemikiran Bung Karno dan Relevansinya di Era Reformasi bertempat di Ovany, Binjai.
Pemilihan tokoh Bung Karno sebagai sosok sentral dalam diskusi ini tentu saja bukan tanpa alasan yang kuat. Bung Karno adalah Presiden Republik Indonesia. Beliau pernah dianugragi gelar Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Seumur Hidup, Penyambung Lidah Rakyat, Singa Podium dan lainnya. Dalam pergaulan politik internasionalpun Bung Karno tak canggung. Beliau termasuk tokoh penggagas gerakan Non Blok dan Kekuatan Dunia Ketiga di antara Dua Blok Besar, yakni Blok Barat (AS, Eropa Barat) dan Blok Timur (Uni Soviet dan China). Kedua Blok besar tersebut berbeda ideologis, yakni Kapitalis Liberalis (Blok Barat, Dunia Pertama) dan Komunis Internasional (Blok Timur, Dunia Kedua. Di tengah-tengahnya, Indonesia memerankan politik luar negeri bebas dan aktif.
Walaupun diujung usia tubuh dan kekuasaanya, ada hal-hal yang kontroversial yang menaungi perjalanan hidupnya, ada hal-hal yang perlu di pelajari dan mungkin ditiru dan diikuti oleh para generasi muda Indonesia, khususnya para mahasiswa di Binjai dan Langkat.[1] Tak ada gading, yang tak retak. Tidak ada manusia yang sempurna. “Yang Sempurna hanyalah merek rokok”’ demikian kata Idris Pasaribu, wartawan Harian Analisa, dalam sebuah diskusi kewargaan dan demokrasi di Fisip USU pada bulan Juni 2012 lalu.

            Masa Kecil, Remaja, dan Awal Perjuangan Sukarno
            Masa kecil Bung Karno, yang lahir di Surabaya ini, adalah masa yang sangat sulit. Ayahnya Raden Sukemi Sosrodiharjo adalah seorang guru sekolah dasar, muslim, dan berpenghasilan rendah. Ibunya Idoja, awalnya memeluk agama Hindhu dan setelah menikah dengan ayah Bung Karno beragama Islam, adalah seorang ibu rumah tangga. Tapi dengan tekad yang kuat Raden Sukemi menyekolahkan Bung Karno hingga menyelesaikan sekolah dasarnya  ketika itu.
            Kemudian Bung Karno dikirim oleh ayahnya mondok di rumah HOS Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam, untuk melanjutkan pendidikannya di HBS. Di sinilah karakter dan pemikiran politik Bung Karno mulai terbentuk. Di usia remajanya, 16 tahun, Bung Karno telah dikenalkan dengan perjuangan poliitk HOS Tjokroaminoto. Pergaulannya dengan anak-anak Belanda mengguratkannya semangat anti penjajahan. Pemerintahan Kolonialisme Hindia Belanda menerapkan praktek-praktek diskriminasi kepada penduduk pribumi. Hubungan percintaanpun mendapatkan perlakukan sama. Ada jarak yang sangat jauh antara bocah putih Belanda dengan anak coklat pribumi.[2]
            Selepas dari HBS, Bung Karno melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Belanda di Bandung. Di sini kematangan ideologinya mulai terbentuk. Bentuk-bentuk gugatannya kepada kolonialisme Belanda semakin terlihat. Bung Karno ikut Studi Klub yang giat mengadakan diskusi-diskusi ilmiah kebangsaan.. Pada tanggal 4 Juli 1927, Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuannya ialah memerdekakan Indonesia dengan cara-cara damai.
            Akibat agitasi-agitasi yang dilakukannya, pada tahun 1929 Bung Karno ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Penjara Bantjeuj, dekat Bandung. Di sini Bung Karno diinterogasi selama 3 bulan secara terus menerus. Pada 18 Agustus 1930, Bung Karno membacakan sendiri pembelaannya yang dituangkannya dalam Pidato yang berjudul ”Indonesia Menggugat”. Karena dianggap bersalah, Bung Karno divonis 4 tahun penjara dan kemudian dipindahkan ke Penjara Sukamiskin.
            Di penjara Sukamiskin inilah menurut pengakuannya, Bung Karno mulai melaksanakan perintah-perintah syariat Islam secara lebih mendalam. Jerjak-jerjak besi penjara mengisolasi dirinya dan memaksa dirinya untuk berpikir sangat dalam tentang makna kehidupan.[3] Memang, perkenalannya dan pergaulannya dengan HOS Tjokroaminoto, yang juga pernah menjadi mertuanya, telah memperkenalkan dengan politik Islam. Tetapi pengalaman penjara membuatnya lebih spritual.
            Karena pembelaan-pembelaan dari M. Husni Thamrin di Volksraad (DPR ketika itu) dan beberapa lainnya yang mempertanyakan kesalahan Bung Karno yang memperjuangkan Indonesia dengan jalan damai, Gubernur Jenderal Belanda mengurangi hukumannya menjadi 2 tahun. Dan pada tanggal 31 Desember 1931, Bung Karno bebas. Tapi PNI telah dilarang, dan berdirilah Partai Indonesia (Partindo). Bung Karno bergabung dengan Partindo pada 28 Juli 1932.
            Kemudian masa-masa pengasingan Bung Karno pun dimulai seperti cerita berseri. Penjara tidak membuat Bung Karno takut dan lemah.Nehru, pemimpin India, bolak-balik masuk penjara, katanya. Setelah bebas, Bung Karno kembali mengadakan rapat-rapat umum untuk menggerakkan rakyat menuju kemerdekaan penuh. Rapat-rapat yang dihadirinya selalu penuh dihadiri oleh warga masyarakat. Rakyat mulai melihatnya sebagai pemimpin baru bagi kemerdekaan Indonesia. Tapi Belanda melihatnya lain.
            Pada tahun 1938, Bung Karno diasingkan ke Endeh, Flores. Sebuah tempat pengasingan yang sunyi. Bung Karno tidak punya teman seperjuangan di sini. Kenapa tidak dibuang ke Boven, Digul? Pertanyaan ini sempat muncul di benak Bung Karno dan Inggit, isteri keduanya setelah bercerai dengan Utari. Belanda berpikir Bung Karno akan mudah mempengaruhi 2.600 orang pejuang Indonesia yang dibuang oleh Pemerintah Kolonoial Belanda di Digul.
            Setelah 5 tahun diasingkan ke Flores, Bung Karno kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Usianya saat itu 40 tahun. Pada tahun 1942, tak lama di Bengkulu, Bung Karno dipindahkan ke Padang. Pertimbanganya adalah karena Bengkulu sudah hampir jatuh ke tangan Jepang. Dari Padang, Bung Karno rencananya diasingkan ke Australia. Namun Jepang keburu sampai di Padang. Belanda takluk. Bebaslah Bung Karno dari Belanda.

            Jatuhnya Bung Karno
            Pada tahun 5 1959 Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden. Isinya yang terutama adalah kembali ke UUD 1945 dan Pembubaran Konstituante (DPR). Sejak merdeka tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan Pemilu Pertama 1955 dan 1959, Indonesia berada dalam instabilitas politik yang akut. Dalam sistem parlemeter yang berjalan, Presiden Sukarno tidak mempunyai kekuasaan eksekutif. Kabinet jatuh bangun silih berganti. Perpecahan politik di DPR (Konstituante) sangat tajam. Tidak ada pemerintahan yang efektif.
            Instabilitas politik ini pada gilirannya memukul ekonomi Indonesia. Sukarno punya kebencian yang sama dengan Pihak Militer, dalam hal ini Angkatan Darat, terhadap  para politisi ini. Dengan pembubaran DPR tersebut, secara de facto, Indonesia dikuasai oleh 3 serangkai, yakni Bung Karno, Angkatan Darat, dan kemudian aktor yang datang kemudian, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI).
            Banyak pihak yang menyesalkan kemudian mengapa Bung Karno bisa begitu dekatnya dengan PKI, bahkan dalam banyak hal dikendalikan oleh PKI. Penjelasannya adalah Bung Karno sejak awal menghormati kaum Komunis. Tokoh-tokoh Komunis Indonesia, Alimin dan Muso, adalah guru-guru poliitk Bung Karno disamping HOS Tjokroaminoto di masa remajanya.; walaupun kemudian, Alimin dan Muso meninggalkan Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto dan membentuk Sarekat Rakyat. Alimin dan Muso juga memberontak pada tahun 1948.
            Bahkan ketika PKI mengadakan kudeta pada tanggal 30 September 1965, Sukartno tidak cepat mengutuk pemberontakan ini, dan bahkan melindungi tokoh-tokoh PKI. Beberapa diantaranya malah diangkat menjadi menteri di Kabinet Dwikora, di kala banyak warga masyarakat menuntut dibubarkannya PKI dan pengadilan terhadap tokoh-tokoh PKI. Sikap inilah yang kemudian diartikan banyak orang bahwa Presiden Sukartno adalah Komunis dan melindungi Komunisme. [4]
            Jelas  bahwa Sukarno bukanlah komunis. Di dalam buku otobiografinya, Sukarno nenulis’” Let’s get straigtht once and for all. I am not, have never been, and could never be a Communist.” Memang diakui Sukarno bahwa beliau secara pribadi lebih dekat dengan tokoh-tokoh komunisme internasional seperti Mao Ze Dong dan Khruschev daripada tokoh-tokoh politik dari Dunia Barat. Itu karena negeri dan tokoh-tokoh politik negeri tersebut tidak iseng suka mencampuri urusan pribadinya. Tidak seperti media-media Amerika Serikat yang kerap menuduh Sukarno dengan berita-berita yang tidak sedap.
            Keengganan Bung Karno untuk menghukum PKI inilah yang kemudian menjadi bumerang bagi Beliau. Sejak habisnya Komunis di Indonesia, Angkatan Darat muncul sebagai satu-satunya kekuatan penyeimbang bagi Bung Karno. Sebelumnya Bung Karno berperan sebagai orang tengah diantara PKI dan Angkatan Darat. Karenanya kemudian Angkatan Darat memobilisasi massa mahasiswa untuk menggulingkan rezim Sukarno dan Sukarno sendiri. Pada Sidang MPRS 12 Maret 1968, MPRS mencabut mandat sebagai Presiden Republik Indonesia dan menunjuk Suharto sebagai Pejabat Presiden.

            Relevansi Pemikiran Bung Karno
            Banyak yang pro maupun kontra terhadap pemikiran Bung Karno. Bung Hatta menyebut ide Nasakom, yakni penggabungan kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis adalah jalan setan.[5]      Tapi idenya yang masih kuat sampai sekarang adalah tentang Marhaenisme. Nama ini diambil dari seorang petani yang dijumpainya di selatan Bandung. Si Marhaen memiliki lahan sendiri, sekitar 1/3 hektar, mengolahnya sendiri dengan alat-alat sendiri, dan memanfaatkannya sendiri. Marhaenisme adalah ide tentang kemandirian dan kemerdekaan di atas kaki sendiri. Di tengah gencarnya gempuran ideologi kapitalisme dan liberalisme yang  membuat bangsa Indonesia sangat bergantung pada pihak asing saat ini, Marhaenisme perlu dilongok kembali


Penulis adalah Direktur Eksekutif LSM Elppamas,
Alumnus S1 UGM, Yogyakarta dan S2 Universitas York, Inggris.
Disampaikan pada tanggal 23 Juni 2012 di  Binjai



[1] YB Mangunwijaya,”Kisah hidup Bung Karno adalah sebuah tragedi. Di masa muda ia begitu dieluelukan sebagai pemimpin yang mendobrak, di masa tua harus berjalan sendiri dan mabuk sanjungan. Akibatnya Bung Karno terperosok dan tenggelam bersama kekalahannya.” Lihat di Tinjauan Buku Bung Karno dalam Pergulatan Pemikiran’ Kompas,1991.
[2] Cerita-cerita masa kecil Bung Karno yang miskin dan kerap mendapat perlakuan diskrinanatif terdapat di buku “Sukarno: An Autobiography. As told to Cindy Adams’ The Bobbs-Meril Company, Inc, USA, 1965.
[3] Idem, hal. 113. Tertulis “…it wasn’t until I was put in jail that I really and truly found Islam”.
[4] Lihat Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, 1986.
  Lihat juga Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, LP3ES, 1986
[5] Lihat Ulf  Sundhaussen, Idem, hal. 434.