Minggu, 17 November 2013

Masih Lakukah Welfare State di Indonesia?



Masih Lakukah Welfare State di Indonesia?
                                                  Oleh: Drs. Jamalludin Sitepu, M.A.


Normatif  di Indonesia
Kalau kita lihat definisi dan gambaran tentang konsep Welfare State, maka  secara konstitusional, Indonesia dapat dikategorikan sebagai Negara yang menganut sistem ekonomi Welfare State. Para pendiri bangsa Indonesia sejak awal merancangnya didalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesehjateraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Didalam Pasal 27 UUD 1945 juga dinyatakan bahwa setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Serta pada pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekayaan alam kita harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.

Demikian juga dalam program-programnya, Pemerintah Indonesia masih banyak memberikan subsidi bagi para pelajar Indonesia dalam rangka program wajib belajar 9 tahun. Ada juga subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik bagi rakyat Indonesia.  Program-program Jamkesmas dan Jamkesda juga banyak memberikan subsidi kesehatan bagi rakyat Indonesia.

Didalam kerangka APBN dan APBD, negara dan pemerintah masih merupakan sumber keuangan dan pendanaan program-program pembangunan nasional dan daerah. Kalau pencairan APBN dan APBD terlambat, program-program pembangunan dan aktifitas sosial kemasyarakatan akan sangat terganggu. Ditambah lagi dengan permasalahan masih lebih besarnya anggaran pembangunan rutin daripada anggaran pembangunan infrastruktur di daerah-daerah. Artinya lebih banyak uang negara atau pemerintah yang dihabiskan untuk membayar gaji para pegawai pemerintah.



Tantangan
Kehadiran welfare state memang mendapatkan banyak tentangan dari berbagai pihak. Sejak awal kelahirannya, pihak yang paling keras menolak konsepsi dan praktek Welfare State adalah para penggagas dan pejuang kapitalis. Hoover, misalnya, menyatakan bahwa dari tahun ke tahun, rasio perbandingan jumlah pegawai pemerintah dengan jumlah penduduk semakin dekat. Jika pada 20 tahun lalu ada 1 pegawa pemerintah berbanding dengan 40 orang penduduk, maka hari ini ada 1 orang pegawai pemerintah berbanding dengan 22 orang penduduk. Pertambahan orang-orang yang menerima gaji dari pemerintah ini secara logis membuat semakin tingginya pengeluaran pemerintah. Untuk menutupi itu, pemerintah tidak punya pilihan lain selain menaikkan pajak. Kenaikan pajak pada akhirnya mengurangi tabungan orang yang seharusnya bisa digunakan untuk membeli rumah, membiayai pendidikan, kesehatan, dan lainnya.


Kerugian dari Welfare State bukan hanya berdimensi keuangan, tapi juga memiliki dimensi psikologis. Akibatnya masyarakat menjadi malas. Untuk apa mereka bekerja, toh pada akhirnya mereka mendapat bantuan pemerintah. Individu tak punya lagi inisiatif dan tekad untuk mengembangkan dirinya sendiri. Pound yakin bahwa inisiatif individu yang dibingkai dengan kapitalisme dan liberalisme lah yang membuat Negara Amerika Serikat Berjaya di muka planet ini.

Ditentangnya Welfare State ini oleh para ilmuwan Amerika Serikat juga berkaitan dengan semakin tingginya pengeluaran dan hutang pemerintahan Amerika Serikat. Tetapi solusi yang ditawarkan justru memperbesar pengaruh Welfare State, yakni memperbesar pinjaman pemerintah dan menaikkan pajak. Akibatnya Amerika Serikat semakin dalam jatuh kepada kolektifisme, nama lain Welfare State. Pada akhirnya, ini juga digambarkan sebagai tanda-tanda kejatuhan Amerika Serikat dari singasana Negara Paling Digjaya di dunia.


Arus Kuat Kapitalisme dan Liberalisme
Jika Amerika Serikat dikhawatirkan oleh para pejuang Kapitalis dan Liberalis akan semakin dekat ke Welfare State, maka Indonesia dikhawatirkan oleh banyak orang berubah haluan menjadi Negara Kapitalis dan Liberalis. Benar bahwa di awal pembentukan Negara Indonesia, para pendiri bangsa kita telah meletakkan dasar system kenegaraan kita yang sangat dekat dengan Welfare State. Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta Ideologi Negara Pancasila secara jelas menunjukkan hal itu. Sebagai contoh, Wakil Presiden Pertama Indonesia, Bung Hatta, telah mencanangkan gerakan koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Bahkan secara kenegaraan, Hari Ulang Tahun Koperasi dirayakan secara besar-besaran mulai dari tingkat nasional sampai tingkat daerah.

Pada tahun 1950-an, pemerintahan Indonesia lewat Presiden Sukarno menasionalisasi perusahaan besar swasta yang masih dimiliki oleh pemerintahan Belanda. Akibatnya, semua perusahaan besar resmi menjadi milik Negara dan dikelola oleh Negara.

Namun pada tahun 1960-an dan 1970-an, terlihat dengan jelas bahwa uji coba nasionalisasi perusahaan-perusahaan tersebut tidak dengan sendirinya menaikkan postur perusahaan –perusahaan tersebut. Perusahaan-perusahaan besar tersebut ternyata merugi dan tidak meghasilkan keuntungan seperti yang direncanakan.

Banyak analisa yang coba diungkapkan untuk menjelaskan fenomena tersebut. Ada yang menggambarkannya dengan jargon Ali-Baba. Artinya secara legal, perusahaan-perusahaan tersebut dimiliki oleh Negara, tetapi dikelola oleh orang-orang yang sangat politis (Ali) di atas kertas. Pada kenyataannya, perusahaan-perusahaan besar tersebut dikendalikan oleh elemen-elemen pengusaha non-pribumi (Baba).

Bersamaan dengan runtuhnya rejim ekonomi Ali Baba ini, muncul Rejim Orde Baru dengan kepemimpinan Jenderal Soeharto. Patokan ekonomi sosialisme dengan elemen-elemen Welfare State mulai ditinggalkan. Soeharto menyewa ahli-ahli ekonomi yang lulus dari Universitas-universitas di Amerika Serikt, khususnya dari Berkeley. Dari sinilah muncul istilah “Mafia Berkeley”.
Para “Mafia Berkeley” ini mengadopsi system-sistem ekonomi Kapitalis dan Liberalis ala Amerika Serikat. Rakyat Indonesia diperkenalkan dengan istilah-istilah de-regulasi dan de-birokratisasi. Artinya, pemerintah mengupayakan agar jenjang perijinan usaha yang selama ini panjang menjadi semakin pendek dan ringkas. Wewenang Negara sedikit demi sedikit dikurangi. Perusahaan-perusahaan dan modal asing semakin dimudahkan kedatangannya di Indonesia.

Kebijakan ekonomi ala Suharto ini bertahan hingga tahun 1990-an. Dengan ditopang ekonomi minyak, Indonesia mengalami kenaikan pembangunan yang sangat menakjubkan. Prestasi swasembada pangan diperoleh masa ini. Pembangunan sekolah-sekolah, rumah sakit, jalan dan jembatan mencapai titik tertinggi di jaman Soeharto ini.

Namun seiring mulai habisnya cadangan minyak mentah dari bumi Indonesia, masalah baru mulai muncul. Devisa Negara banyak dihabiskan untuk membeli dan mensubsidi BBM kepada rakyat. Kasus-kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme meraja lela. Banyak anggaran pembangunan yang habis dikorupsi yang angkanya bisa mencapai 40% dari anggaran yang ada. Krisis ekenomi yang terjadi ini terakhir berimbas menjadi krisis politik. Dan tahun 1998, Rejim Suharto ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa sehingga lahirlah Era Reformasi menggantikan Era Orde Baru.

Pada Era Reformasi, hanya rejim politik yang berubah, tapi tidak dengan rejim ekonomi. Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY tetap mengusung system ekonomi yang kapitalis dan liberalis sebagai tulang punggungnya, dengan sedikit sentuhan Welfare State. Pada Era Reformasi inilah modal-modal asing begitu bebasnya memasuki Indonesia. Perjanjian-perjanjian perdagangan bebas diadopsi Indonesia dari mulai tingkatan bilateral, multilateral, ASEAN, dan APEC.

Program-program berbau Welfare State masih juga dipakai dengan intensitas yang terus mengurang. Sebagai contoh ,subsidi BBM dan listrik terus dikurangi. Jaminan kesehatan masyarakat juga masih ada. Program-program PNPM masih dijalankan.

Kesimpulan
Sejak kelahirannya Negara Indonesia telah menetapkan system Welfare State didalam tatanan kenegaraannya. Proses itu berlangsung secara penuh hingga tahun 1960-an yang dinamakan dengan Era Orde Lama. Namun di tahun 1970-an, system Welfare State ini mengalami kebutuan dengan adanya penurunan tingkat ekonomi yang sedemikian tajam, bahkan menjurus kepada wabah kelaparan. Kegagalan system Welfare State ini terutama disebabkan oleh Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang akut.

Dijaman nilai-nilai Welfare State mulai dikurangi dan digantikan dengan system kapitalis dan liberalis yang mengadopsi system yang berlaku di Amerika Serikat. Langkah-langkah de-regulasi dan de-birokratisasi terus dilakukan. Peran Negara dan pemerintah dipangkas. Hasilnya memang kemajuan ekonomi yang menakjubkan, walaupun banyak orang yang lebih mengaitkan keberhasilan ekonomi ini dengan produksi minyak mentah Indonesia yang sangat besar. (Indonesia termasuk anggota Negara-negara penghasil minyak atau OPEC).

Pada tahun 1990-an, Rejim Orde Baru juga tumbang. Banyak orang yang mengaitkan tumbannya rejim Orde Baru ini dengan penyakit KKN. Pada waktu yang bersamaan, produksi minyak mentah Indonesia terus menurun dan Indonesia berubah menjadi Negara Pengimpor Minyak.

Di Era Reformasi ini, pendulum itu masih bergerak kearah Kapitalis dan Liberalis dengan sedikit sentuhan Welfare State di sana sini. Banyak pihak juga yang mengklaim bahwa Indonesia tidak pernah sekapitalis dan seliberalis ini sebelumnya.

Terakhir penulis berkesimpulan bahwa bangsa Indonesia telah mengadopsi system Welfare State dan Kapitalis-Liberalis secara bergantian dan juga secara bersamaan. Nampaknya kegagalan Indonesia mengadopsi kedua system ini dengan baik lebih disebabkan oleh mentalitas bangsa Indonesia yang belum siap kedua system itu, yakni maraknya penyakit KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Sistem apapun yang kita adopsi, mentalitas dan moralitas bangsa adalah yang terlebih dahulu harus dipersiapkan.
                               
Penulis adalah Direktur Eksekutif LSM Elppamas
 

MENCIPTAKAN PEMILU 2014 YANG BERKUALITAS




MENCIPTAKAN PEMILU 2014 YANG BERKUALITAS
 

Oleh: Drs. Jamalludin Sitepu, MA.


Pendahuluan

Tahun 2014 di Indonesia adalah tahun politik. Demikian yang kerap kali disampaikan banyak oleh pengamat. Pernyataan itu tentu bukan tanpa alasan. Karena pada tahun 2014 tersebut akan ada 2 peristiwa politik besar, yaitu Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Tak heran bila dari sekarang ini para calon DPR/DPRD dan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden mulai tebar pesona dengan memasang baliho, spanduk, dan iklan media massa sebagai sarana sosialisasi. Banyak orang yang memandang ini terlalu dini. Atau bahasa lain,banyak calon anggota Legislatif dan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden yang sudah berkampanye atau curi start.

Menurut penulis, hal itu bukanlah masalah yang sangat besar. Biarlah calon anggota Legislatif dan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden tersebut mensosialisasikan diri lebih awal. Karena dengan begitu, masyarakat luas mempunyai waktu yang lebih panjang dan kesempatan yang lebih luas untuk meneliti profil dan integritas calon anggota Legislatif dan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden itu.

Hal yang sangat penting adalah bagaimana menciptakan Pemilu di tahun 2014 menjadi Pemilu yang berkualitas, yakni Pemilu yang demokratis, jujur, adil, dan menghasilkan anggota DPR/DPRD dan Presiden-Wakil Presiden Indonesia 2014 yang berkualitas yang bisa menghantarkan Indonesia ke gerbang kemakmuran dan keadilan.

Selama ini rakyat Indonesia sangat banyak disuguhkan oleh berita-berita yang kurang baik tentang kinerja para anggota DPR/DPRD dan mereka. Mulai dari anggota DPR/DPRD yang bolos sidang sampai yang terjerat kasus-kasus korupsi. Salah seorang mantan anggota DPR, Effendi Choirie menyatakan bahwa wajah politik Indonesia sering kali jauh dari etika dan moralitas. Dan Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja, pernah menyatakan bahwa  korupsi di Parpol dilakukan sistemik di sektor-sektor strategis.


Pembahasan

Target menciptakan Pemilu yang berkualitas di tahun 2014 bukanlah perkara mudah. Akan banyak hambatan-hambatan. Jika Pemilu-pemilu di jaman Orde Baru tak lebih dari sekedar meligitimasi aksi pembungkaman Rejim Suharto, maka Pemilu-pemilu di Jaman Reformasi dijalankan “semau gue” tanpa “ruh” demokrasi sebenarnya. Yang terjadi adalah Pemilu-pemilu yang dibimbing oleh ideologi Kapitalis primitif dan “laise faire”. Hasilnya anggota DPR/DPRD atapun pejabat pemerintah yang bebas berbuat “semau gue”.
Hanya di bebarapa tahun terakhir ini saja, khususnya dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), para anggota DPR/DPRD dan pejabat pemerintah mulai awas dan waspada. Hanya saja karena pengawasannya berasal dari pihak luar (eksternal), hasilnya tidak maksimal. Yang dibutuhkan adalah pengawasan melekat (waskat) yang lebih berdimensi sistemik sehingga anggota DPR/DPRD yang terpilih memiliki kapabilitas dan integritas yang mumpuni.

Penulis berpendapat ada beberapa langkah-langkah strategis yang bisa dan harus dilakukan untuk mencapai target tersebut, yaitu:
1.      Penyelenggara Pemilu (KPU/KPUD, Bawaslu/Panwaslu) yang Independen
Pembentukan Penyelenggara yang independen adalah kunci yang paling utama dalam menciptakan sebuah Pemilu yang berkualitas. Sayangnya selama ini perspektif yang dipakai dan dikembangkan hanyalah dari perspektif politik, seperti tidak pernah terlibat dalam partai politik selama 5 tahun dan masih kentalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme politik. Sebenarnya fenomena ini diragukan karena, seperti yang terjadi di Aceh bagaimana calon independen sesungguhnya adalah anasir-anasir Partai Aceh/GAM. Padahal prinsip indepensi tidak hanya melulu harus dilihat dari perspektif politik. Karenanya fenomena dipecatnya 70 anggota KPU/KPUD dan Bawaslu/Panwaslu oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bukanlah hal yang mengejutkan bagi penulis. Menurut DKPP, mayoritas yang dipecat tersebut karena terlibat “money politics” dan memihak kepentingan-kepentingan politik tertentu, terutama dari calon incumbent.

Indpendensi juga harus dimaknai dengan independensi finansial dan fasilitas penyelenggara Pemilu. Seperti menurut Anggota DPD RI, Airman Sori, para anggota KPUD di Propinsi dan Kabupaten/Kota bekerja dengan gaji dan fasilitas yang terbatas sehingga mereka rentan dengan gangguan dan godaan, apalagi ada calon incumbent yang ikut pada pemilihan kepala daerah.

2.      Pemutakhiran Data Pemilih yang Akurat.
Baru-baru ini Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Edukasi dan Politik (LP3ES) mengeluarkan laporan yang mengejutkan. LP3ES mensinyalir 11% pemilih di Sumatera Utara yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS)  yang telah diumumkan oleh KPU adalah Pemilih Hantu (ghost voters). Namanya terdaftar di DPS tapi tidak bisa ditemui atau orangnya tidak ada.

Solusi untuk masalah ini tidak ada selain kembali memutakhirkan data. Menurut pengamatan penulis, selama ini data dari desa biasanya akurat dan selalu diperbaharui setiap bulan. Masalahnya adalah terdapat kesenjangan atau jalur komunikasi yang terputus antara desa, dalam hal ini Panitia Pemungutan Suara (PPS) dengan KPUD. Jalur komunikasi antara PPS dan KPUD harus diperkuat.

3.      Pengawasan dan Penegakan Hukum
Fungsi pengawasan dan penegakan hukum harus diperkuat. Disinilah titik lemahnya penyelenggara Pemilu, terutama Bawaslu/Panwaslu. Pelanggaran yang paling berat dan paling sering adalah politik uang “money politics”. Hal ini diakui sendiri oleh banyak anggota DPR/DPRD dan pejabat pemeritah yang terpilih. Mereka terpaksa mengeluarkan ongkos politik yang sangat besar untuk merayu pemilih, termasuk dengan melakukan serangan fajar dengan membagi-bagikan sejumlah uang atau sembako di pagi hari pada hari pelaksanaan Pemilu. Sayangnya hal ini sudah dianggap wajar oleh banyak anggota masyarakat  dan di biarkan atau tidak diadakan tindakan oleh Bawaslu/Panwaslu.


4.      Pemanfaatan Teknologi Informasi
Untuk meningkatkan kualitas Pemilu 2014, mau tidak mau harus memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini juga damini oleh anggota DPR RI, TB Ace Hasan yang menyatakan perlunya diberlakukan e-count di TPS-TPS sehingga dengan demikian Formulir C1 bisa langsung di kirim ke Pusat dengan cepat. Selama ini waktu pengiriman data dari KPPS ke KPU butuh waktu 1 minggu. Dengan waktu 7 hari tersebut, data Pemilu rentan untuk diintervensi.

Rekomendasi/Kesimpulan
Meningkatan kualitas Pemilu 2014 bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Tapi kita bisa melakukan dengan beberapa langkah, seperti:
1.      Penyelenggara Pemilu (KPU/KPUD, Bawaslu/Panwaslu) yang independen
2.      Pemutakhiran data Pemilih yang akurat.
3.      Pengawasan dan Penegakan Hukum
4.      Pemanfaatan teknologi informasi






(DRS. JAMALLUDIN SITEPU, M.A)
Direktu