Masih
Lakukah Welfare State di Indonesia?
Oleh:
Drs. Jamalludin Sitepu, M.A.
Normatif
di Indonesia
Kalau kita lihat
definisi dan gambaran tentang konsep Welfare State, maka secara konstitusional, Indonesia dapat
dikategorikan sebagai Negara yang menganut sistem ekonomi Welfare State. Para
pendiri bangsa Indonesia sejak awal merancangnya didalam Pembukaan UUD 1945
yang berbunyi Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah,
memajukan kesehjateraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Didalam Pasal
27 UUD 1945 juga dinyatakan bahwa setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Serta pada pasal 33 dan 34 UUD 1945
yang menyatakan bahwa kekayaan alam kita harus dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat dan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
Negara.
Demikian juga dalam
program-programnya, Pemerintah Indonesia masih banyak memberikan subsidi bagi
para pelajar Indonesia dalam rangka program wajib belajar 9 tahun. Ada juga
subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik bagi rakyat Indonesia. Program-program Jamkesmas dan Jamkesda juga
banyak memberikan subsidi kesehatan bagi rakyat Indonesia.
Didalam kerangka APBN
dan APBD, negara dan pemerintah masih merupakan sumber keuangan dan pendanaan
program-program pembangunan nasional dan daerah. Kalau pencairan APBN dan APBD
terlambat, program-program pembangunan dan aktifitas sosial kemasyarakatan akan
sangat terganggu. Ditambah lagi dengan permasalahan masih lebih besarnya
anggaran pembangunan rutin daripada anggaran pembangunan infrastruktur di
daerah-daerah. Artinya lebih banyak uang negara atau pemerintah yang dihabiskan
untuk membayar gaji para pegawai pemerintah.
Tantangan
Kehadiran welfare state
memang mendapatkan banyak tentangan dari berbagai pihak. Sejak awal
kelahirannya, pihak yang paling keras menolak konsepsi dan praktek Welfare
State adalah para penggagas dan pejuang kapitalis. Hoover, misalnya, menyatakan
bahwa dari tahun ke tahun, rasio perbandingan jumlah pegawai pemerintah dengan
jumlah penduduk semakin dekat. Jika pada 20 tahun lalu ada 1 pegawa pemerintah
berbanding dengan 40 orang penduduk, maka hari ini ada 1 orang pegawai
pemerintah berbanding dengan 22 orang penduduk. Pertambahan orang-orang yang
menerima gaji dari pemerintah ini secara logis membuat semakin tingginya
pengeluaran pemerintah. Untuk menutupi itu, pemerintah tidak punya pilihan lain
selain menaikkan pajak. Kenaikan pajak pada akhirnya mengurangi tabungan orang
yang seharusnya bisa digunakan untuk membeli rumah, membiayai pendidikan,
kesehatan, dan lainnya.
Kerugian dari Welfare
State bukan hanya berdimensi keuangan, tapi juga memiliki dimensi psikologis.
Akibatnya masyarakat menjadi malas. Untuk apa mereka bekerja, toh pada akhirnya
mereka mendapat bantuan pemerintah. Individu tak punya lagi inisiatif dan tekad
untuk mengembangkan dirinya sendiri. Pound yakin bahwa inisiatif individu yang
dibingkai dengan kapitalisme dan liberalisme lah yang membuat Negara Amerika
Serikat Berjaya di muka planet ini.
Ditentangnya Welfare
State ini oleh para ilmuwan Amerika Serikat juga berkaitan dengan semakin
tingginya pengeluaran dan hutang pemerintahan Amerika Serikat. Tetapi solusi
yang ditawarkan justru memperbesar pengaruh Welfare State, yakni memperbesar pinjaman
pemerintah dan menaikkan pajak. Akibatnya Amerika Serikat semakin dalam jatuh
kepada kolektifisme, nama lain Welfare State. Pada akhirnya, ini juga
digambarkan sebagai tanda-tanda kejatuhan Amerika Serikat dari singasana Negara
Paling Digjaya di dunia.
Arus
Kuat Kapitalisme dan Liberalisme
Jika Amerika Serikat
dikhawatirkan oleh para pejuang Kapitalis dan Liberalis akan semakin dekat ke Welfare
State, maka Indonesia dikhawatirkan oleh banyak orang berubah haluan menjadi
Negara Kapitalis dan Liberalis. Benar bahwa di awal pembentukan Negara
Indonesia, para pendiri bangsa kita telah meletakkan dasar system kenegaraan
kita yang sangat dekat dengan Welfare State. Pembukaan dan Batang Tubuh UUD
1945 serta Ideologi Negara Pancasila secara jelas menunjukkan hal itu. Sebagai
contoh, Wakil Presiden Pertama Indonesia, Bung Hatta, telah mencanangkan
gerakan koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Bahkan secara
kenegaraan, Hari Ulang Tahun Koperasi dirayakan secara besar-besaran mulai dari
tingkat nasional sampai tingkat daerah.
Pada tahun 1950-an,
pemerintahan Indonesia lewat Presiden Sukarno menasionalisasi perusahaan besar
swasta yang masih dimiliki oleh pemerintahan Belanda. Akibatnya, semua
perusahaan besar resmi menjadi milik Negara dan dikelola oleh Negara.
Namun pada tahun
1960-an dan 1970-an, terlihat dengan jelas bahwa uji coba nasionalisasi
perusahaan-perusahaan tersebut tidak dengan sendirinya menaikkan postur
perusahaan –perusahaan tersebut. Perusahaan-perusahaan besar tersebut ternyata
merugi dan tidak meghasilkan keuntungan seperti yang direncanakan.
Banyak analisa yang
coba diungkapkan untuk menjelaskan fenomena tersebut. Ada yang menggambarkannya
dengan jargon Ali-Baba. Artinya secara legal, perusahaan-perusahaan tersebut
dimiliki oleh Negara, tetapi dikelola oleh orang-orang yang sangat politis
(Ali) di atas kertas. Pada kenyataannya, perusahaan-perusahaan besar tersebut
dikendalikan oleh elemen-elemen pengusaha non-pribumi (Baba).
Bersamaan dengan
runtuhnya rejim ekonomi Ali Baba ini, muncul Rejim Orde Baru dengan
kepemimpinan Jenderal Soeharto. Patokan ekonomi sosialisme dengan elemen-elemen
Welfare State mulai ditinggalkan. Soeharto menyewa ahli-ahli ekonomi yang lulus
dari Universitas-universitas di Amerika Serikt, khususnya dari Berkeley. Dari
sinilah muncul istilah “Mafia Berkeley”.
Para “Mafia Berkeley”
ini mengadopsi system-sistem ekonomi Kapitalis dan Liberalis ala Amerika
Serikat. Rakyat Indonesia diperkenalkan dengan istilah-istilah de-regulasi dan
de-birokratisasi. Artinya, pemerintah mengupayakan agar jenjang perijinan usaha
yang selama ini panjang menjadi semakin pendek dan ringkas. Wewenang Negara
sedikit demi sedikit dikurangi. Perusahaan-perusahaan dan modal asing semakin
dimudahkan kedatangannya di Indonesia.
Kebijakan ekonomi ala
Suharto ini bertahan hingga tahun 1990-an. Dengan ditopang ekonomi minyak,
Indonesia mengalami kenaikan pembangunan yang sangat menakjubkan. Prestasi
swasembada pangan diperoleh masa ini. Pembangunan sekolah-sekolah, rumah sakit,
jalan dan jembatan mencapai titik tertinggi di jaman Soeharto ini.
Namun seiring mulai
habisnya cadangan minyak mentah dari bumi Indonesia, masalah baru mulai muncul.
Devisa Negara banyak dihabiskan untuk membeli dan mensubsidi BBM kepada rakyat.
Kasus-kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme meraja lela. Banyak anggaran
pembangunan yang habis dikorupsi yang angkanya bisa mencapai 40% dari anggaran
yang ada. Krisis ekenomi yang terjadi ini terakhir berimbas menjadi krisis
politik. Dan tahun 1998, Rejim Suharto ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa
sehingga lahirlah Era Reformasi menggantikan Era Orde Baru.
Pada Era Reformasi,
hanya rejim politik yang berubah, tapi tidak dengan rejim ekonomi. Presiden
Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY tetap mengusung system ekonomi yang
kapitalis dan liberalis sebagai tulang punggungnya, dengan sedikit sentuhan
Welfare State. Pada Era Reformasi inilah modal-modal asing begitu bebasnya
memasuki Indonesia. Perjanjian-perjanjian perdagangan bebas diadopsi Indonesia
dari mulai tingkatan bilateral, multilateral, ASEAN, dan APEC.
Program-program berbau
Welfare State masih juga dipakai dengan intensitas yang terus mengurang.
Sebagai contoh ,subsidi BBM dan listrik terus dikurangi. Jaminan kesehatan
masyarakat juga masih ada. Program-program PNPM masih dijalankan.
Kesimpulan
Sejak kelahirannya
Negara Indonesia telah menetapkan system Welfare State didalam tatanan
kenegaraannya. Proses itu berlangsung secara penuh hingga tahun 1960-an yang
dinamakan dengan Era Orde Lama. Namun di tahun 1970-an, system Welfare State
ini mengalami kebutuan dengan adanya penurunan tingkat ekonomi yang sedemikian
tajam, bahkan menjurus kepada wabah kelaparan. Kegagalan system Welfare State
ini terutama disebabkan oleh Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang akut.
Dijaman nilai-nilai
Welfare State mulai dikurangi dan digantikan dengan system kapitalis dan
liberalis yang mengadopsi system yang berlaku di Amerika Serikat.
Langkah-langkah de-regulasi dan de-birokratisasi terus dilakukan. Peran Negara
dan pemerintah dipangkas. Hasilnya memang kemajuan ekonomi yang menakjubkan,
walaupun banyak orang yang lebih mengaitkan keberhasilan ekonomi ini dengan
produksi minyak mentah Indonesia yang sangat besar. (Indonesia termasuk anggota
Negara-negara penghasil minyak atau OPEC).
Pada tahun 1990-an,
Rejim Orde Baru juga tumbang. Banyak orang yang mengaitkan tumbannya rejim Orde
Baru ini dengan penyakit KKN. Pada waktu yang bersamaan, produksi minyak mentah
Indonesia terus menurun dan Indonesia berubah menjadi Negara Pengimpor Minyak.
Di Era Reformasi ini,
pendulum itu masih bergerak kearah Kapitalis dan Liberalis dengan sedikit
sentuhan Welfare State di sana sini. Banyak pihak juga yang mengklaim bahwa
Indonesia tidak pernah sekapitalis dan seliberalis ini sebelumnya.
Terakhir penulis berkesimpulan
bahwa bangsa Indonesia telah mengadopsi system Welfare State dan
Kapitalis-Liberalis secara bergantian dan juga secara bersamaan. Nampaknya
kegagalan Indonesia mengadopsi kedua system ini dengan baik lebih disebabkan
oleh mentalitas bangsa Indonesia yang belum siap kedua system itu, yakni
maraknya penyakit KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Sistem apapun yang kita
adopsi, mentalitas dan moralitas bangsa adalah yang terlebih dahulu harus
dipersiapkan.
Penulis adalah Direktur Eksekutif LSM Elppamas