MENCIPTAKAN SUMUT BERSIH KORUPSI
(Mimpi atau Potensi?)
Oleh:
Drs. Jamalludin
Sitepu, M.A.
Beberapa saat setelah membaca pengumuman tentang Lomba Karya Tulis Ilmiah
Populer di Harian Berita Sore tahun yang lalu yang bertemakan
“PEMBANGUNAN SUMUT BERWAWASAN FUTURISTIK”, pikiran penulis langsung tertuju
pada tema pembersihan dari korupsi. Betapa tidak, saat ini orang nomor 1 di
Propinsi Sumatera Utara ini, yakni Gubernur Sumatera Utara, H. Syamsul Arifin,
SE, sedang berada di Rumah Tahanan Salemba karena menjadi tahanan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tanggal 22 Oktober 2010. H. Syamsul Arifin,
SE menjadi tersangka, bahkan telah divonis bersalah dalam kasus korupsi dana APBD Langkat antara tahun 2000-2007
saat menjabat Bupati Langkat. KPK menyangkakan kerugian negara sebesar Rp. 102
milyar.
Kasus-kasus lainnya yang menyangkut Kepala Daerah Tingkat II adalah kasus korupsi Medan (Abdillah, Ramli Lubis), Pematang
Siantar (RE Siahaan), Tapanuli Selatan (Rahudman), Tanjung Balai (Sutrisno
Hadi), dan Nias (Binahati Baeha). Sedangkan kasus-kasus korupsi yang melibatkan
bawahan Kepala Daerah Tingkat II sudah sangat banyak diproses, tetapi nilai
selebritasnya kurang kuat sehingga kurang menarik perhatian masyarakat dan
media.
Selain menyangkut masalah kerugian keuangan negara, kasus Syamsul Arifin
ini, serta kasus-kasus korupsi Kepala Daerah Tingkat II lainnya, juga menyentuh nilai-nilai moralitas. Bagi
orang-orang tua yang pernah bertemu dengan Syamsul Arifin dengan membawa
anak-anak mereka, baik saat Syamsul Arifin menjabat sebagai Bupati Langkat
maupun Gubernur Sumut, akan sulit menjelaskan situasinya sebenarnya kepada
anak-anak mereka. Disetiap kunjungannya ke desa-desa di Kabupaten Langkat khususnya,
dan umumnya di Sumatera Utara, Syamsul Arifin sering kali teringat kepada
anak-anak dan memberikan mereka uang saku. Walaupun nilainya terkadang hanya
Rp. 5.000/ anak, pemberian Syamsul Arifin ini membekas dalam ingatan mereka. Kepala-kepala
Daerah tingkat II lainnya yang tersangkut kasus korupsi, seperti mantan
Walikota Medan,
Abdillah, seringkali dikenal orang banyak sebagai sosok yang merakyat dan suka
membantu orang miskin.
Orang yang mereka kagumi dan hormati ternyata harus berada di tahanan,
sama seperti penjahat-penjahat lainnya, seperti perampok, pencuri, penjudi,
pemerkosa, ataupun penjahat-penjahat lainnya. Artinya disini yang dipertanyakan
adalah sisi keteladanan kepemimpinan. Siapa lagi yang bisa dijadikan teladan di
propinsi Sumatera Utara yang mereka cintai ini? Pertanyaan lain yang muncul
adalah bagaimana sebenarnya sistem birokrasi pemerintahan yang berjalan, sehingga Ketua Mahkamah
Konstitusi, Mahfud MD, pernah menyatakan bahwa hampir semua pejabat korupsi. Meminjam
istilah mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, korupsi di Indonesia sudah
mencapai tahap sistemik sehingga siapapun yang menjadi pejabat publik akan
jatuh dalam perangkap korupsi.
Memang kalau kita lihat secara internasional, Indonesia memang tak bisa lepas
dari endemik korupsi. Pada tahun 2009 ini Transparency International Indonesia
(TII) di dalam situs resminya, www.tii.or.id,
mengeluarkan siaran persnya bahwa Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia adalah 2,8; kalah dari Brunei Darussalam
(IPK: 5,5), Malaysia (IPK: 4,5), dan Thailand (IPK: 3,3). Negara-negara yang dilanda
perang IPK nya sangat rendah, seperti Somalia
( IPK: 1,1), Afghanistan
(IPK: 1,3), dan Irak (IPK: 1,5). Negara-negara maju umumnya mempunyai IPK yang
tinggi yakni: Swiss (IPK: 9,0), Denmark
(IPK: 9,3), dan Singapura (IPK: 9,2). Sedangkan pada tahun 2010 ini, menurut
TII, IPK Indonesia tidak berubah, tetap pada angka 2,8. Seperti kata Ketua
Dewan Pengurus TII, Todung Mulya Lubis, artinya dalam 2 tahun terakhir ini,
prestasi pemberantasan korupsi di Indonesia jalan di tempat.
Demikian juga dalam tahun 2010 ini perusahaan konsultan Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong mempublikasikan
bahwa Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang
menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Penilaian didasarkan atas
pandangan eksekutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total
responden adalah 2.174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas
di Asia, Australia,
dan Amerika Serikat. Di posisi 2 sampai 5 adalah Kamboja,
Vietnam, Pilipina, dan Thailand.
Sayangnya, secara kuantitatif, seperti menurut data Indonsian Corruption
Watch (ICW) tahun 2010, Sumatera Utara merupakan propinsi yang paling banyak
kasus korupsinya di sektor keuangan atau APBD dengan 26 kasus. Diperingkat kedua dan ketiga adalah propinsi
Jawa Barat dan DKI Jakarta masing-masing dengan 16 kasus. Ditempat keempat dan
kelima adalah Aceh dan Jawa Tengah masing-masing dengan 14 kasus.
Secara kualitatif, Direktur LBH Medan, Nuriyono SH, pernah menyatakan
bahwa korupsi sudah menjadi tradisi dan menggurita di Sumut. Ibarat penyakit,
sudah sampai pada tahap penyakit kanker stadium IV dan tinggal menunggu saat
kematian. Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU), Warijo SS,
M.A, juga pernah menyatakan bahwa budaya
korupsi di Sumut sudah menjamur dan berakar. Tanpa perlu dipublikasikan,
masyarakat sudah tahu itu..
Untuk skala kota,
pada tahun 2010 ini KPK mengadakan survey integritas. Dalam survey ini, Nilai
Integritas Instansi Vertikal Kota Medan adalah 4, 65 (skala paling rendah 0 dan
paling tinggi 10) dan menduduki peringkat 22. Nilai Kota Medan ini kalah dari
Kota Jayapura yang memiliki nilai integritas 5,02 dan menduduki peringkat 16. Kota tetangga propinsi,
yakni Pekan Baru menduduki peringkat 17 dengan nilai integritas 4,98. Di
peringkat pertama adalah Kota Jakarta Barat dengan nilai integritas 5,92.
Untuk Nilai Integritas Pemerintahan Kota, Kota Medan menduduki peringkat
20 dengan indeks 3,66. Jayapura di peringkat 16 dengan indeks 4,51, dan Pekan Baru
di peringkat 14 dengan indeks 4,56. Di tempat teratas dipegang oleh Kota
Surabaya dengan indeks 6,13. Dalam
Indeks Integrasi Daerah, kembali nilai Kota Medan (4,44) kalah dari Jayapura
(4,91) dan Pekan Baru (4,89).
. Sayang sekali lagi, untuk tingkat kabupaten, karena penulis sekarang
berdomisili di Kabupaten Langkat, Kabupaten Langkat menjadi terkenal karena
kasus korupsinya yang berkala sangat besar. Seperti menurut aktivis ICW, Adnan
Topan Hutodo, kasus korupsi di Langkat menggunakan modus korupsi paling
telanjang. Selain kasus korupsi Syamsul Arifin saat beliau menjabat sebagai
bupati Langkat, terdapat banyak kasus lainnya. Mantan Kepala Dinas P & P
Kabupaten Langkat, Azizah M. Seif, divonis 4 tahun penjara oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri (PN) Stabat. 2 mantan Kakan Depag Langkat (Nasib Jawad dan M
Ilyas Lubis) dijadikan tersangka kasus korupsi Dana Bantuan Guru Honor senilai Rp.
3,3 milyar. 2 mantan Kaban Kesbang Linmas (Sukhyar Mulianto dan Agustari)
menjadi tersangka kasus Dana Bantuan Kamtibmas sebesar Rp. 2,2 milyar.
Belakangan Sekda Langkat, Surya Djahisa, juga tersandung kasus korupsi pajak.
Pada tahun 2009 saja Kejari Stabat (Langkat) memproses 19 kasus dugaan
korupsi di Langkat: 12 sudah selesai dan 7 masih dalam penyelidikan. Ini membuat
Kepala Kejaksaan Negeri Stabat, Maju Ambarita, SH, MH, harus diacungi jempol.
Di tahun 2009 itu Kejari Stabat dapat mengembalikan uang hasil kejahatan
korupsi sejumlah Rp. 1,6 milyar kepada Bupati
Langkat, Ngogesa Sitepu, dan selanjutnya disetorkanke rekening Bagian Umum Pemkab Langkat untuk
pembangunan fisik dan non-fisik. Maju Ambarita, SH, MH, layak dinobatkan
menjadi Tokoh Tahun 2010 (Man of the
Year 2010) di Kabupaten Langkat ataupun Propinsi Sumatera Utara karena
kinerjanya memberantas korupsi di Kabupaten Langkat sangat luar biasa.
Rekomendasi Kebijakan
1. Revolusi Budaya
Ya, harus diakui bahwa secara kualitatif dan
kuantitatif propinsi Sumatera Utara adalah termasuk propinsi terkorup di Indonesia.
Masalahnya sekarang bahwa rakyat Indonesia yang berdomisili di Sumut
harus bangun dari tidurnya dan segera berbenah diri. Rakyat Sumut harus diberi
penyadaran bahwa korupsi telah membunuh sendi-sendi pembangunan fisik dan moral
masyarakat. Bahwa potensi untuk membersihkan diri itu ada. Untuk itu dibutuhkan
revolusi budaya. Kampanye biar miskin asal tidak korupsi harus sering
didengungkan di telinga warga Sumut. Budaya malu melakukan korupsi harus
dikembangkan lagi. Di sinilah pentingnya program-program kampanye anti-korupsi,
baik yang dilakukan pihak pemerintah maupun swasta. Peranan para ulama dan
tokoh-tokoh agama sangat penting untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat
bahwa korupsi adalah perbuatan haram yang merusak bangsa.
2. Revisi Peraturan Perundang-undangan
Di sektor Peraturan Perundang-undangan harus ada
perubahan ataupun revisi. Seperti yang dinyatakan oleh Ketua Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, dalam sebuah seminar di Jakarta bahwa
Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tidak mencukupi. Perlu ditambah aturan tentang
“illicit enrichment”. “Illicit treatment” adalah pengayaan diri dengan cara
yang tidak wajar. Jika pejabat Negara yang keuangannya luar biasa dan setelah
diperiksa lembaga yang berwenang di Indonesia (KPK) pejabat tersebut tidak bisa
menjelaskan asal-usulnya, harta itu disita menjadi milik negara. Perihal
“illicit enrichment” ini diharapkan masuk dalam Rancangan Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditargetkan selesai pada tahun 2010 ini.
3. Reformasi Birokrasi
Walaupun Todung Mulya Lubis telah berani memvonis
bahwa reformasi birokrasi di Indonesia
telah gagal, penulis berpendapat bahwa mau tidak mau reformasi harus terus
dilakukan. Harus terus ditemukan inovasi-inovasi prosedural untuk menekan tingkat inefisiensi dan korupsi. Studi
perbandingan dengan negara-negara lain yang maju dan bersih dari korupsi harus
dilakukan sehinga didapatkan formula yang pas untuk memberantas korupsi di
sektor birokrasi.
Sebagai contoh, Seperti menurut seorang komisioer KPK,
M. Yasin, harus terus dikembangkan sistem pengadaan barang dan jasa melalui
elektronik. Sampai tahun 2010 ini, baru 193 instansi yang menggunakan sistem
elektronik dalam pengadaan barang dan jasa. Indikasi penyimpangan dana dalam
pengadaan barang dan jasa mencapai 30-40%.
4. Perluasan Tangan KPK
Harus diakui bahwa secara kualitatif KPK saat ini
adalah satu-satunya lembaga yang paling dipercaya rakyat untuk memberantas
korupsi di Indonesia.
Secara kuantitatif, seperti dalam survey integritas KPK tahun 2010,
lembaga-lembaga yang secara teoritits dikenal sebagai lembaga pemberantas
korupsi, seperti Kepolisian, Kantor Pajak, Pengadilan dan Kejaksaan, dan
DPR/DPRD, ternyata adalah lembaga-lembaga yang terkorup dan harus bersihkan
dari korupsi. Untuk itu perluasan tangan KPK sampai ke daerah-daerah diperlukan
jika memang Indonesia
serius memerangi korupsi.
5. Penguatan Whistle Blower/Watchdog
Orang-orang atau kelompok-kelompok yang berfungsi
sebagai Peniup Peluit (Whistle Blower) atau Penjaga (Watch dog) harus
diperkuat, didukung, dan dilindungi. Karena tanpa mereka kasus-kasus korupsi
terancam dipeti eskan oleh pejabat-pejabat bewenang. Orang atau
kelompok-kelompok ini biasanya tergabung dalam organisasi pers ataupun lembaga swadaya
masyarakat. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus terus diperkuat
dan didukung, baik secara politik, hukum, maupun finansial.
Sayangnya selama ini potensi dan kekuatan
kelompok-kelompok whistle blower ini sangat lemah, baik secara hukum, politik, finansial
maupun ideologi. Banyak dari mereka memperjuangkan gerakan anti korupsi demi
korupsi mereka sendiri. Mengejar-mengejar para pelaku korupsi untuk dimintai
uang damai, uang tutup mulut, dan lain sebagainya.
6. Memperbanyak Riset dan Survey Integritas
dan Anti Korupsi
Riset dan Survey yang telah dilakukan oleh KPK, ICW
dan TII selama ini telah banyak membantu mengetahui secara kuantitatif sejauh
mana korupsi telah merambah Indonesia.
Data ini bisa menjadi acuan bagi gerakan-gerakan pemberantasan korupsi.
Namun sayangnya, riset
dan survey integritas yang dilakukan oleh KPK, ICW dan TII tersebut sangatlah
kecil dan tidak sebanding dengan luas wilayah Indonesia
dan kompleksitas permasalahan korupsi di Indonesia. Untuk itu harus
dirangsang oleh negara dan swasta munculnya lembaga-lembaga riset dan
survey-survey integritas lainnya di daerah-daerah tingkat II. Sehingga dengan
demikian data-data yang diperoleh kian membumi, komprehensif, dan penanganannya
dapat lebih membumi dan komprehensif pula.
PENUTUP
Indonesia termasuk
negara yang paling korup di Indonesia.
Sementara itu, Sumatera Utara termasuk propinsi yang paling korup di Indonesia.
Untuk bergerak maju, harus ditemukan cara-cara baru untuk memberantas korupsi
di Indonesia.
Penulis menyodorkan 5 langkah. Pertama, mengadakan revolusi budaya untuk
merubah paradigma masyarakat yang sudah tidur dengan korupsinya.
Kampanye-kampanye penyadaran harus dilakukan secara terus-menerus. Kedua,
peraturan dan perundang-undangan yang kurang lengkap harus segera direvisi
untuk menyahuti gerakan anti korupsi. Ketiga, reformasi birokrasi harus terus
berjalan dengan paradigma dan langkah-langkah teknis terbaru. Keempat, KPK
ataupun lembaga-lembaga ad hoc anti korupsi lainnya harus eksis. Masyarakat
tidak dapat berharap banyak dari lembaga-lembaga pemberantasan korupsi yang ada
seperti kepolisian, dan kejaksaan/pengadilan. Dan kelima, riset dan survey
integritas anti korupsi harus lebih diperkuat secara kuantitatif dan kualitatif
dan sampai ke daerah-daerah tingkat II. Dengan langkah-langkah ini, usaha
menciptakan Sumut bersih dari korupsi bukanlah impian belaka. Dan potensi itu
ada.
Penulis adalah Direktur LSM Elppamas,
(DRS. JAMALLUDIN SITEPU, M.A)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar