ANGGOTA KPU/KPUD DARI PARPOL: KENAPA TIDAK?
Oleh
Drs. Jamalludin
Sitepu, M.A
Direktur
Eksekutif LSM Elppamas
Alumnus
University of York, England, 2005
Beberapa hari terakhir ini terjadi
perdebatan hangat apakah anggota Partai Politik (Parpol) dapat menjadi anggota
KPU/KPUD. Rancangan revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 ini sekarang sedang
digodok di Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam
UU No. 22 Tahun 2007 pasal 11 bagian i dinyatakan bahwa syarat menjadi
anggota KPU adalah tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan
dalam surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya
dalam jangka 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi
anggota partai politik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik
yang bersangkutan.
Dalam draft revisi UU No. 22 Tahun
2007 tersebut, seperti yang dinyatakan oleh anggota DPR, Chairuman Harahap,
tidak lagi dipersoalkan jangka waktu seorang anggota Parpol mengundurkan diri.
Bahkan dalam usulan lebih ekstrim, anggota KPU akan berisikan anggota Parpol
yang lulus Parliamentary Treshold (PT),
yang berarti adalah anggota Parpol yang sekarang berada di DPR, yakni Partai
Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Hanura, dan Gerindra.
Banyak pihak yang sudah mengeluarkan
kritik atas ide diperbolehkannya anggota Parpol masuk KPU/KPUD, termasuk oleh
Direktur Eksekutif Cetro, Haidar N. Gumay baru-baru ini (Kompas, 17 September
2011). Alasan pertama yang diungkakan adalah bahwa anggota Parpol tidak akan
dapat bersikap independen dalam menjalankan tugas-tugasnya. Angota Parpol
tersebut dikhawatirkan akan hanya mementingkan kepentingan partainya. Bahkan
ada yang berani menyebutnya sebagai pembodohan politik dan tidak pernah ada di
muka bumi manapun jika memang itu terjadi.
Akan tetapi penulis berpendapat
sebaliknya. Menurut penulis, sudah waktunya anggota Parpol kembali diberi
kepercayaan menyelenggarakan Pemilu. Ada
beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk mendukung pendapat itu, yaitu:
- Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, anggota Parpol sudah pernah berpengalaman menyelengarakan Pemilu yakni di tahun 1999. Ini sesuai dengan pasal 8 ayat 2 Undang-undang No. 3 Tahun 1999 yang berbunyi: “Penyelenggara Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari partai-partai politik peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah yang bertanggungjawab kepada Presiden”. Kemudian dalam pasal 9 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1999 tersebut juga dinyatakan bahwa “Keanggotaan KPU terdiri dari 1 (satu) orang wakil dari masing-masing Partai Politik peserta Pemilihan Umum dan 5 (lima) orang wakil Pemerintah.”
Pada Pemilu 1999 tersebut anggota Parpol dipercayai menyelenggarakan
Pemilu karena penyelenggara-penyelenggara Pemilu sebelumnya di jaman Orde baru
(1972, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) diselenggarakan oleh lembaga independen
dan tak ada wakil dari Parpol didalamnya. Hasilnya adalah hasil Pemilu yang
penuh rekayasa dan menipu rakyat. Sedangkan pada Pemilu 1999, dengan anggota
Parpol sebagai penyelenggaranya, Pemilu berlangsung jujur, adil, bebas, dan
rahasia, sama dengan Pemilu pertama di Indonesia tahun 1955.
- Pernyataan yang meragukan independensi anggota Parpol sebagai penyelenggara Pemilu perlu berpikir ulang dan mengasah logikanya kembali. Jika anggota Parpol dilarang ikut serta dalam KPU/KPUD, bagaimana dengan orang-orang yang pernah terlibat alam tim kampanye calon-calon independen dalam Pemilu Kada (Pemilihan Umum Kepala Daerah)? Namanya saja mereka tidak terlibat dalam sebuah partai politik. Tetapi dalam tindakan-tindakannya juga terlibat dalam usaha memenangkan sebuah jabatan politik. Akan tidak adil jika kita melarang anggota Parpol menjadi anggota KPU/KPUD, tetapi memperbolehkan orang yang pernah terlibat memenangkan calon-calon independen dalam jangka waktu kurang dari 5 (lima) tahun.
- Kalau ukuran keberhasilan Pemilu adalah berjalannya Pemilu dengan lancar dan aman, maka KPU/KPUD telah berhasil. Tapi kalau ukuran keberhasilan Pemilu adalah terlaksananya Pemilu yang bersih, jauh dari suap-menyuap/transaksi politik dan terpilihnya anggota DPR/DPRD yang berkualitas dan pantas, maka KPU/KPUD telah gagal total.
Dalam perspektif lain, Guru Besar Universitas Udayana, Prof. DR. I Wayan Windia juga menyatakan
dalam Kompas.com (19 Mei 2010) bahwa setelah era reformasi korupsi mengalami
transformasi, yakni terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) sampai ke
daerah-daerah akibat rakyat “menjual suara” dalam Pemilu. Di Bali, misalnya,korupsi
di kalangan pejabat daerah terjadi karena masyarakat menghargakan dukungan
suara yang telah diberikan dalam Pemilu. Masyarakat sudah tidak sungkan meminta
uang kepada calon eksekutif maupun legislatif, sebagai imbalan suara yang akan
maupun sudah diberikan pada pelaksanaan Pemilu legislatif maupun pilkada.
- Kasus-kasus korupsi menjangkiti banyak anggota KPU dan KPUD. Kasus-kasus korupsi yang menerpa Nazaruddin Syamsuddin, Mulyana W. Kusumah adalah yang “high-profile”. Di daerah-daerah, anggota-anggota KPUD juga terlibat kasus-kasus korupsi, baik yang sampai ke tangan hukum maupun yang tak terjamah hukum. Dalam catatan penulis, KPUD di Jawa Timur, Lombok Tengah, Lumajang, Langkat sampai ke meja hijau. Selebihnya, kasus-kasus korupsi di KPU/KPUD hanya menjadi bahan untuk “strory telling” bagi generasi-generasi berikutnya.
PENUTUP
Telah terbukti bahwa dalam Pemilu 2004 dan 2009
anggota KPU/KPUD yang berasal dari orang-orang yang katanya independen seperti
aktifis-aktifis LSM dan organisasi-organisasi massa lainnya telah gagal
melaksanakan tugasnya. Mereka telah terperangkap di dalam lubang yang sama
seperti lembaga penyelenggara Pemilu di jaman Orde Baru, yakni Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisne (KKN). Hanya saja model dan metodologi KKN nya berbeda dan
terlihat lebih halus dan canggih. Jika di jaman Orde Baru penyelenggara Pemilu
memenuhi pesanan rezim diktator, di jaman ini penyelenggara Pemilu dipengaruhi
pesanan orang-orang yang memiliki uang.
Sudah waktunya diadakan perubahan/revolusi
penyelenggaraan Pemilu. Anggota Parpol yang lulus PT (Partai Demokrat, Partai
Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Hanura, dan Gerindra) diberikan amanah
untuk menyelengarakan Pemilu. Hanya saja mereka di non-aktifkan sementara
sebagai anggota/pengurus Parpol untuk menghindari rangkap jabatan dan dualisme
komando dan loyalitas professional. Seperti yang dinyatakan Chairuman Harahap, untuk
lebih mengoptimalkan pengawasan kepada anggota anggota KPU/KPUD bisa juga
dibentuk Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu (DKPP). Ayo berubah!
Penulis adalah Direktur Eksekutif LSM Elppamas
Alumnus University of York, England
HP: 081375476850
Email : jamalnambiki@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar